Namaku Dinda. Aku terlahir dalam dunia yang gelap. Gelap
sekali. Kadang aku ingin sekali melihat dunia yang indah … matahari terbit dan
terbenam, wajah orang-orang terutama
wajah ibuku ….., kadang aku selalu
berfikir mengapa harus aku yang lahir begini … yang selalu melihat kegelapan..
dimanapun aku berada.
Suatu hari, ibuku tak ada di rumah aku
berusaha keluar dari rumah, karena aku sangat kesepian. Aku sudah terbiasa
dengan kebiasaanku ini. Dengan
tongkat kesayanganku, aku melangkah ke halaman rumah. Menghirup udara segar,
sekali nafas, buang kemudian menarik dalam-dalam dan menghembuskannya lagi.
Dunia itu pasti indah kan? Aku tersenyum.
“dinda, sedang apa kau?”
Suara itu, suara yang tak
asing. Aku tersenyum.
“merasakan dunia,, dunia
itu pasti indah kan, Ra?”
“sebaiknya kau masuk, Ibu
sedang tidak ada di rumah, bahaya din”
“bisakah kau menemaniku
jalan-jalan sebentar, Ra?
Rara diam.
“ayolah Ra sebentar saja,
sudah lama aku tak jalan jalan. Aku janji, aku pasti langsung masuk kalau aku
sudah jalan jalan sebentar,juga, tidak akan ada yang akan menggangguku jika kau
disampingku”
Hening. Sebelum aku
sempat memohon lagi, Rara sudah menarik tanganku. Aku tersenyum.
“kau memang sahabat
terbaik sedunia haha,,” godaku
Selangkah, dua langkah,
menjadi beberapa langkah. Senang sekali. Aku bersenandung sambil mengayunkan
tanganku yang digenggam Rara.
“orang gila!!!!, orang
buta gila hiiiii hahahahahaha”
Sorakan itu lagi. Hidup
itu sulit yah? Jika kesenangan sedang melanda, hal seperti inilah yang
melongsorkannya. Aku terpaku meratapi. Rara dengan liatnnya menarik tanganku
menjauh, kurasa ia membawaku pulang.
tes, tes , sudah jatuh,
air mata yang setengah mati kutahan sudah tumpah. Aku menangis tersedu sedu di
samping Rara.
***
Tok tok tok..
“Din, buka pintunya
sayang? Ayo sekarang siap siap”
Pintu kubuka.
“kita mau kemana ma?”
“ini waktu pemeriksaan
kamu, cepat ganti baju”
“ya ma”
Beberapa menit kemudian
aku dan mama sudah di ruangan Dr. Vita. Aku tak dapat berpikir jernih. Satu hal
yang bisa kutangkap dari percakapan ibu dan Dr. Vita. Mulai hari itu, aku harus
tinggal di rumah sakit.
***
Baju piama biru, ranjang
seprai putih, ruangan serba putih, orang orang berpakaian putih, semerbak bau
kimia, yah suasana kamarku sekarang. Ibu masih sibuk berbicara dengan Dr. Vita.
Sepertinya donor mata yang cocok untukku belum didapatkan.
“Ra?”
Hening. Di mana dia? Dari
kemarin aku belum sempat mendengar suaranya.
“sayang, ibu mau
berangkat kerja dulu, Ntar ibu pulang lebih awal langsung jenguk kesini, kalo
ada apa apa bilang saja sama suster ini, suster dita namanya”
Ibu meraih tanganku untuk
menyentuh suster Dita. Aku mengangguk.
Ruangan tiba-tiba sepi.
Aku membaringkan diriku. Kembali lagi, selamat datang kembali, kegelapan.
“suster?”
Nihil. Tidak ada suara.
Sepertinya suster itu tertidur.
“Ra?”
Tidak ada suara. Kemana
dia?
“Rara?”
“ssst,,, teriak teriak, nah aku dari tadi
tidur di sini. Capek tau!”
“Dari mana saja kau
kemarin? Ku panggil-panggil tapi tak pernah muncul”
Hening sebentar.
“Ra, kau harus sabar.
Suatu saat donor mata yang cocok untukmu pasti akan datang.”
***
Suara roda berputar
dengan cepat mendekat dibarengi dengan suara tangisan serta permohonan. Ada
apa?
Orang-orang itu masuk ke
kamarku.
“dok, tidak akan terjadi
apa-apa kan? operasinya berjalan lancar kan?”
“kita lihat dulu
perkembangannya ya bu, kami sudah berusaha sangat keras, tapi mau bagaimana
lagi jika Tuhan berkata lain, kesadaran Dini saja sudah sebuah mukjizat bagi
kita semua”
Dini? Siapa dia? Teman
sekamarku? Sepertinya sakitnya lebih parah dariku.
***
“Hey”
Suara asing, mungkin itu
suara Dini. Apakah dia menyapaku?
“aku?”
“ya, kamu lah siapa lagi
yang ada di ruangan ini ?”
“oh maaf. Hai, nama kamu
dini kan?”
“ya , darimana kau
mengetahuinya? Kalau begitu namamu siapa?”
“aku mendengarnya dari
dokter. Namaku Dinda”
“kalau begitu kau pasti
tau kalau hidupku dalam bahaya” nada bicaranya berubah.
“sakit apa?”
“jantungku lemah sejak
kecil. Belum lama ini, jantungku semakin terganggu, tidak ada donor yang cocok.
Hanya satu dan resikonya sangat tinggi. Operasiku berjalan lancar tapi jantung
itu,,”
Hening. Mungkin ia sedang
terisak.
“dokter bilang jantung
ini hanya bertahan beberapa minggu. Jika mukjizat, satu tahun jangka terlama.”
Dia benar benar terisak.
Aku berdiri, ingin menenangkannya. Saat itulah ia tahu. Tangisnya terhenti.
“Dind, kamu ... kamu buta?”
***
Belakangan ini Rara tak
datang lagi mengunjungiku. Syukurlah ada Dini, setidaknya aku tidak kesepian.
Kami banyak bertukar pikiran. Tentang kegelapanku yang berbeda dengan kegelapannya,
tentang Rara, tentang ibu, dan tentang... ayah.
Ibu juga sedang sibuk
akhir-akhir ini. Ia hanya mengunjungiku beberapa kali. Ku lihat air muka ibu
masih sama seperti saat berbicara dengan dokter Vita dulu. Sepertinya donorku
belum juga ditemukan.
“bu, Rara mana?” kataku
suatu hari saat ibu datang menjenguk.
“di rumah, Besok ibu
datang bareng Rara deh,”
***
Dini baru saja ke ruang
pemeriksaan. Akhir-akhir ini keadaannya memburuk. Padahal aku dan Dini mulai
menjadi teman baik. Sepertinya ia akan segera pindah ruangan.
Hari itu ibu datang
dengan Rara. Rara duduk di sampingku.
“Ra, kau tinggal di sini
saja ya, bareng aku di rumah sakit. Akan ku kenalkan kau pada Dini. Dini sangat
ingin bertemu denganmu”
“Dini?”
“teman baruku, satu
ruangan denganku , ia sedang ada di ruang pemeriksaan. Akan kukenalkan ia
padamu.” Kataku menggebu gebu.
Aku banyak bercerita
tentang Dini pada Rara, juga tentang banyak hal yang terjadi saat Rara tak ada.
Kami bercerita banyak sekali hingga aku ketiduran.
Saat terbangun, Dini
sepertinya sudah tiba.
“Din,? Kau tertidur?”
“tidak, kau sudah bangun
rupanya.”
“Ra?” aku meraba-raba
berusaha menemukan sosok Rara.
“Din, Rara ada di sini,
apa kau melihatnya?, kami berdua menunggumu dari tadi. Aku sudah tak sabar
memperkenalkannya padamu”
Aku menemukannya. Aku
menyentuh Rara.
“Ra, itu Dini. Din, ini
Rara”
“Rara, Rara mana?”
Sepertinya Dini sedang
tersenyum dan mereka bertatapan dalam diam.
“senang berkenalan
denganmu Ra. Kata Dinda kau adalah teman terbaiknya.”
***
Hari itu menjadi hari
terakhir Dini bersamaku. Ia pindah ruangan untuk perawatan yang lebih intensif.
Jadilah Rara lagi yang selalu menemaniku. Ia tinggal di rumah sakit bersamaku.
Kadang aku bertanya, mengapa aku harus tinggal di rumah sakit kalau donorku
belum juga ditemukan?
Beberapa hari setelah
itu, aku sadar dugaanku salah. Ternyata pendonor memang telah ada. Dokter hanya
menunggu waktu yang tepat. Aku tersenyum, Tuhan apakah dunia telah menungguku?.
Operasiku telah
dijadwalkan. Aku siap. Impianku sebentar lagi terwujud. Melihat dunia, melihat
ibu, melihat Dini, melihat Rara dan menghapus kegelapan.
“pelan-pelan yah, satu,,,
dua,,,, tiga” instruksi Dr. Vita
Tuhan apakah ini dunia?
Apakah ini rumah sakit yang serba putih itu? Apakah yang menangis di pelukanku
ini ibu? Apakah itu Dr. Vita? Rara? Dini? Dimana mereka?
***
Setelah hilang dari
kegelapan, setelah melihat dunia aku kini mengerti. Mengerti tentang Ayah yang
menitipkan Rara, tentang Dini yang mendonorkan matanya padaku, juga tentang
Rara yang hanya ilusi. Tuhan menyadarkanku lewat mereka. juga lewat surat Dini
:
Din, apa kabarmu?
Pasti kau baik-baik saja.
Saat kau bisa baca surat, pasti impianmu telah terwujud. Aku tahu kau yang
begitu kesepian saat ditinggalkan ayahmu, kau yang hidup dalam kegelapan, kau
yang mulai berilusi saat ayahmu meninggal, menganggap Rara bagai manusia walau
ia hanya sebuah boneka pemberian ayahmu. Aku melihatnya, melihat keinginanmu
untuk hidup, tidak sepertiku. Dengan waktuku yang sedikit, aku terus berputus
asa, membuat orang-orang di sekitarku terus bersedih. Aku ingin setidaknya
pernah bermanfaat di dunia, aku ingin melihat orang bahagia disekelilingku.
Walau hanya dengan perantara kau. Kau ingin berterima kasih padaku? Tidak, aku
yang harus berterima kasih. Selamat menikmati dunia kawan.
Kulipat surat itu lalu
tersenyum.
No comments:
Post a Comment