Saturday, September 20, 2014

Teman Dalam Kegelapan



Namaku Dinda. Aku terlahir dalam dunia yang gelap. Gelap sekali. Kadang aku ingin sekali melihat dunia yang indah … matahari terbit dan terbenam, wajah orang-orang  terutama wajah ibuku …..,  kadang aku selalu berfikir mengapa harus aku yang lahir begini … yang selalu melihat kegelapan.. dimanapun aku berada.
Suatu hari, ibuku tak ada di rumah aku berusaha keluar dari rumah, karena aku sangat kesepian. Aku sudah terbiasa dengan kebiasaanku ini. Dengan tongkat kesayanganku, aku melangkah ke halaman rumah. Menghirup udara segar, sekali nafas, buang kemudian menarik dalam-dalam dan menghembuskannya lagi. Dunia itu pasti indah kan? Aku tersenyum.
“dinda, sedang apa kau?”
Suara itu, suara yang tak asing. Aku tersenyum.
“merasakan dunia,, dunia itu pasti indah kan, Ra?”
“sebaiknya kau masuk, Ibu sedang tidak ada di rumah, bahaya din”
“bisakah kau menemaniku jalan-jalan sebentar, Ra?
Rara diam.
“ayolah Ra sebentar saja, sudah lama aku tak jalan jalan. Aku janji, aku pasti langsung masuk kalau aku sudah jalan jalan sebentar,juga, tidak akan ada yang akan menggangguku jika kau disampingku”
Hening. Sebelum aku sempat memohon lagi, Rara sudah menarik tanganku. Aku tersenyum.
“kau memang sahabat terbaik sedunia haha,,” godaku
Selangkah, dua langkah, menjadi beberapa langkah. Senang sekali. Aku bersenandung sambil mengayunkan tanganku yang digenggam Rara.
“orang gila!!!!, orang buta gila hiiiii hahahahahaha”
Sorakan itu lagi. Hidup itu sulit yah? Jika kesenangan sedang melanda, hal seperti inilah yang melongsorkannya. Aku terpaku meratapi. Rara dengan liatnnya menarik tanganku menjauh, kurasa ia membawaku pulang.
tes, tes , sudah jatuh, air mata yang setengah mati kutahan sudah tumpah. Aku menangis tersedu sedu di samping Rara.
***
Tok tok tok..
“Din, buka pintunya sayang? Ayo sekarang siap siap”
Pintu kubuka.
“kita mau kemana ma?”
“ini waktu pemeriksaan kamu, cepat ganti baju”
“ya ma”
Beberapa menit kemudian aku dan mama sudah di ruangan Dr. Vita. Aku tak dapat berpikir jernih. Satu hal yang bisa kutangkap dari percakapan ibu dan Dr. Vita. Mulai hari itu, aku harus tinggal di rumah sakit.
***
Baju piama biru, ranjang seprai putih, ruangan serba putih, orang orang berpakaian putih, semerbak bau kimia, yah suasana kamarku sekarang. Ibu masih sibuk berbicara dengan Dr. Vita. Sepertinya donor mata yang cocok untukku belum didapatkan.
“Ra?”
Hening. Di mana dia? Dari kemarin aku belum sempat mendengar suaranya.
“sayang, ibu mau berangkat kerja dulu, Ntar ibu pulang lebih awal langsung jenguk kesini, kalo ada apa apa bilang saja sama suster ini, suster dita namanya”
Ibu meraih tanganku untuk menyentuh suster Dita. Aku mengangguk.
Ruangan tiba-tiba sepi. Aku membaringkan diriku. Kembali lagi, selamat datang kembali, kegelapan.
“suster?”
Nihil. Tidak ada suara. Sepertinya suster itu tertidur.
“Ra?”
Tidak ada suara. Kemana dia?
“Rara?”
 “ssst,,, teriak teriak, nah aku dari tadi tidur di sini. Capek tau!”
“Dari mana saja kau kemarin? Ku panggil-panggil tapi tak pernah muncul”
Hening sebentar.
“Ra, kau harus sabar. Suatu saat donor mata yang cocok untukmu pasti akan datang.”
***
Suara roda berputar dengan cepat mendekat dibarengi dengan suara tangisan serta permohonan. Ada apa?
Orang-orang itu masuk ke kamarku.
“dok, tidak akan terjadi apa-apa kan? operasinya berjalan lancar kan?”
“kita lihat dulu perkembangannya ya bu, kami sudah berusaha sangat keras, tapi mau bagaimana lagi jika Tuhan berkata lain, kesadaran Dini saja sudah sebuah mukjizat bagi kita semua”
Dini? Siapa dia? Teman sekamarku? Sepertinya sakitnya lebih parah dariku.
***
“Hey”
Suara asing, mungkin itu suara Dini. Apakah dia menyapaku?
“aku?”
“ya, kamu lah siapa lagi yang ada di ruangan ini ?”
“oh maaf. Hai, nama kamu dini kan?”
“ya , darimana kau mengetahuinya? Kalau begitu namamu siapa?”
“aku mendengarnya dari dokter. Namaku Dinda”
“kalau begitu kau pasti tau kalau hidupku dalam bahaya” nada bicaranya berubah.
“sakit apa?”
“jantungku lemah sejak kecil. Belum lama ini, jantungku semakin terganggu, tidak ada donor yang cocok. Hanya satu dan resikonya sangat tinggi. Operasiku berjalan lancar tapi jantung itu,,”
Hening. Mungkin ia sedang terisak.
“dokter bilang jantung ini hanya bertahan beberapa minggu. Jika mukjizat, satu tahun jangka terlama.”
Dia benar benar terisak. Aku berdiri, ingin menenangkannya. Saat itulah ia tahu. Tangisnya terhenti.
“Dind, kamu ...  kamu buta?”
***
Belakangan ini Rara tak datang lagi mengunjungiku. Syukurlah ada Dini, setidaknya aku tidak kesepian. Kami banyak bertukar pikiran. Tentang kegelapanku yang berbeda dengan kegelapannya, tentang Rara, tentang ibu, dan tentang... ayah.
Ibu juga sedang sibuk akhir-akhir ini. Ia hanya mengunjungiku beberapa kali. Ku lihat air muka ibu masih sama seperti saat berbicara dengan dokter Vita dulu. Sepertinya donorku belum juga ditemukan.
“bu, Rara mana?” kataku suatu hari saat ibu datang menjenguk.
“di rumah, Besok ibu datang bareng Rara deh,”
***
Dini baru saja ke ruang pemeriksaan. Akhir-akhir ini keadaannya memburuk. Padahal aku dan Dini mulai menjadi teman baik. Sepertinya ia akan segera pindah ruangan.
Hari itu ibu datang dengan Rara. Rara duduk di sampingku.
“Ra, kau tinggal di sini saja ya, bareng aku di rumah sakit. Akan ku kenalkan kau pada Dini. Dini sangat ingin bertemu denganmu”
“Dini?”
“teman baruku, satu ruangan denganku , ia sedang ada di ruang pemeriksaan. Akan kukenalkan ia padamu.” Kataku menggebu gebu.
Aku banyak bercerita tentang Dini pada Rara, juga tentang banyak hal yang terjadi saat Rara tak ada. Kami bercerita banyak sekali hingga aku ketiduran.
Saat terbangun, Dini sepertinya sudah tiba.
“Din,? Kau tertidur?”
“tidak, kau sudah bangun rupanya.”
“Ra?” aku meraba-raba berusaha menemukan sosok Rara.
“Din, Rara ada di sini, apa kau melihatnya?, kami berdua menunggumu dari tadi. Aku sudah tak sabar memperkenalkannya padamu”
Aku menemukannya. Aku menyentuh Rara.
“Ra, itu Dini. Din, ini Rara”
“Rara, Rara mana?”
Sepertinya Dini sedang tersenyum dan mereka bertatapan dalam diam.
“senang berkenalan denganmu Ra. Kata Dinda kau adalah teman terbaiknya.”
***
Hari itu menjadi hari terakhir Dini bersamaku. Ia pindah ruangan untuk perawatan yang lebih intensif. Jadilah Rara lagi yang selalu menemaniku. Ia tinggal di rumah sakit bersamaku. Kadang aku bertanya, mengapa aku harus tinggal di rumah sakit kalau donorku belum juga ditemukan?
Beberapa hari setelah itu, aku sadar dugaanku salah. Ternyata pendonor memang telah ada. Dokter hanya menunggu waktu yang tepat. Aku tersenyum, Tuhan apakah dunia telah menungguku?. 
Operasiku telah dijadwalkan. Aku siap. Impianku sebentar lagi terwujud. Melihat dunia, melihat ibu, melihat Dini, melihat Rara dan menghapus kegelapan.
“pelan-pelan yah, satu,,, dua,,,, tiga” instruksi Dr. Vita
Tuhan apakah ini dunia? Apakah ini rumah sakit yang serba putih itu? Apakah yang menangis di pelukanku ini ibu? Apakah itu Dr. Vita? Rara? Dini? Dimana mereka?
***
Setelah hilang dari kegelapan, setelah melihat dunia aku kini mengerti. Mengerti tentang Ayah yang menitipkan Rara, tentang Dini yang mendonorkan matanya padaku, juga tentang Rara yang hanya ilusi. Tuhan menyadarkanku lewat mereka. juga lewat surat Dini :
Din, apa kabarmu?
Pasti kau baik-baik saja. Saat kau bisa baca surat, pasti impianmu telah terwujud. Aku tahu kau yang begitu kesepian saat ditinggalkan ayahmu, kau yang hidup dalam kegelapan, kau yang mulai berilusi saat ayahmu meninggal, menganggap Rara bagai manusia walau ia hanya sebuah boneka pemberian ayahmu. Aku melihatnya, melihat keinginanmu untuk hidup, tidak sepertiku. Dengan waktuku yang sedikit, aku terus berputus asa, membuat orang-orang di sekitarku terus bersedih. Aku ingin setidaknya pernah bermanfaat di dunia, aku ingin melihat orang bahagia disekelilingku. Walau hanya dengan perantara kau. Kau ingin berterima kasih padaku? Tidak, aku yang harus berterima kasih. Selamat menikmati dunia kawan.
Kulipat surat itu lalu tersenyum.






No comments:

Post a Comment